Balon Udara

Tentu kita sama-sama dalam keadaan sadar
Ketika parasut rakitan nilon berwarna merah, mulai mengangkat kita menjauh dari bumi untuk membumbung begitu tinggi di udara.

33.000 meter dari permukaan tanah lisut.
Kita kemudian terkagum-kagum dengan sekumpulan cat biru dan hijau, yang tumpah di darat dengan bentuk-bentuk ajaib menyerupai hewan-hewan juga rasi bintang.

Tidak ada kata juga perdebatan, hanya daun-daun ingatan yang turun melewati petir lalu berjatuhan tepat di atas kepala.

Kamu sibuk membersihkan daun-daun, sementara aku menghirup bau gosong dan terlumuri getah-getah.

Semua terasa ringan, kemudian kosong. Ringan, kemudian kosong.

Seperti bahagia, tetapi bukan.

“Kepulangan kita bergantung pada angin”

Tapi angin hanya mampu menggerakkan keranjang secara horizontal, untuk memindahkan lokasi namun tetap pada ketinggian yang sama.

Kita tak mungkin lagi berharap pulang pada burung-burung, baju parasut usang, tali tambang sepanjang dua meter atau suhu tubuh yang mencapai 100 derajat.

“Apakah kita mau pulang?”

“Sampai kapankah konstruksi ini bertahan?”

Di titik ini, koordinat awal selalu jadi bayang-bayang.
Dan paru-paru berisi helium terus mengembang.

Kita masih saja diam dan menyimpan
sambil terus
dan terus
menahan nafas
entah sampai kapan

Kamu tentu tahu, aku masih memegang rekor menahan nafas terlama di dunia.

22.42
D Cangkir
11-12 Oktober 2012

Dipublikasi di Uncategorized | 1 Komentar

Senin

hari ini aku memilih lupa
pada jalan setapak dan udara hangat
di sana,
saat awan cumulonimbus menari
trembesi tua memberi celah
kepada matahari
yang menyamarkan warna pipi
setiap kali kita mencetak jejak-jejak kaki
pada tanah basah
dan merekam arti mata
dalam otak yang masih dingin

hari ini aku memilih lupa
pada suara ketukan dua kali di pintu
kala matahari malu dan jatuh
melihat kita terbang berpeluh
menuju Dachstein
bersembunyi
berharap Tuhan luluh
dan berkata: “dosa itu tiada”

hari ini aku memilih lupa
pada wajahmu yang pecah
oleh perempuan lain
yang memunguti serpihan
dengan sabar
sementara lembar-lembar kertas usang
pusat tinta dan bulir airku berpadu
melumpuh

hari ini aku memilih lupa
seperti kamu di hari itu yang memilih lupa
ketika aku menanyakan jalan pulang

aku tersesat, sayang

Cilegon, 30 Juli 2012
16.07

Dipublikasi di Uncategorized | Meninggalkan komentar

Matahari Avianti, Matahari Kami

Kemarin, melewati jalan tol pondok indah, ada satu butir matahari bulat besar berwarna jingga, jadi ingat salah satu puisinya avianti:

Satu Matahari

Dibatas itu aku memilih menjadi buta.
Kenapa? Tanyamu.

Setahun yang lalu aku telah melihat sesuatu
Yang tak seharusnya kulihat
Mereka bilang; matahari.
Mataku menangkap; Dia.
Tubuhku seketika mengerang oleh cahaya yang terlalu terang. Dan terlalu gelap.
Lalu dia bergantian mendenyutkan ingin yang akut—seperti desah dalam lipatan daging.
Terang-gelap-terang-gelap.
Cadar ini terlalu tipis untuk menyembunyikan rasa.

Apa yang kau lihat dijalan itu?
Genangan air yang jadi hijau?
Merah kataku. Hujan merah.
Dibalik garis-garis basah,dia indah
Dan selamanya berpendar.
Disini, gambar-gambar memudar.

Setelah itu mereka mencoba menghilangkan cahaya dari ingatanku.
Tapi aku masih bisa merasakan panasnya.
Kata mereka Cuma ada satu matahari.
Kataku, itu milkku.
Dan aku tak mau berbagi.

Dibatas itu aku memilih menjadi buta.
Kenapa? Tanyamu.

Entahlah. Mungkin cinta memang begitu.

*untuk perempuan2 dan laki2 kesayanganku, lain kali sedia kacamata hitam yaa atau di rumah aja deh kalau gak kuat silau 😛

Dipublikasi di Uncategorized | Meninggalkan komentar

E-sperer

Bakteri itu hidup tanpa rencana dalam tubuhku. Ia berkembang biak dan membelah diri di setiap pori-pori. Di selaput mata, di antara lubang hidung, di kulit bibir, di tenggorokan, di sekeliling jantung dan paru-paru. Kata sang Pandir, makhluk itu lahir dari butir-butir impian yang tidak pernah diterima Tuhan.

Bentuknya lucu, seperti hati yang tak seimbang. Layaknya lem, ia melekat sempurna bersembunyi menyerupai kulit. Warnanya kuning, bercahaya. Seperti kunang-kunang, si bakteri berkedip-kedip tiap malam. Ia masuk ke otak melalui rambut menembus kulit-kulit kepala. Misinya mengatur mimpiku mulai tengah malam. Mimpi-mimpi manis yang mampu membuatku merasakan dua emosi sekaligus, bahagia dan menyesal. Mimpi-mimpi pengganggu tidur.

Dengan senyumnya yang memikat, ia mengikat tubuhku dengan kuat. Setiap kakiku melangkah, atau tanganku mencoba bergerak, selalu ia yang memberi komando. Setiap akhir bulan, makhluk tersebut bertambah panjang dan lebarnya satu mikron. Akibatnya pori-poriku melebar, debu-debu masuk ke tubuhku tanpa saringan. Tidak ada yang dapat mencegah perkembangannya, meski adakalanya ia mengkerut dan keriput setiap Sabtu.

Bakteri itu tidak pernah tidur. Ia bergerak siang dan malam: menggigiti kulit, mengiris nadi, menghisap darahku. Ia menusuk paru-paru dengan tangannya yang mirip paku. Tanpa sadar, energiku menipis nyaris habis. Tubuhku lemas menahan infeksi. Bakteri itu berhasil menakut-nakutiku. Bakteri itu menyakitiku.

Kata sang pandir lagi, berlari adalah cara terbaik untuk melepaskan semua yang menempel di tubuh. Aku pun berlari dan berlari, tanpa alas kaki. Berlari kesana kemari. Berlari tanpa arah. Berlari dari bumi. Berlari menghilangkan dungu.

Sore di penghujung tahun itu, dalam ruang bersuhu 8 derajat, si bakteri akhirnya menyerah melepaskan diri. Ia pergi tidak sendiri. Ia membawa semua kulit ari.

Bulan-bulan memang mudah sekali berganti, tapi anehnya kulit ari tidak tumbuh lagi. Setengah memaksakan diri, aku keluar pintu sebab rindu bertemu matahari. Prediksiku benar, manusia tanpa kulit ari hanyalah makhluk lemah tanpa tameng dan senjata. Hanya 10 menit berdialog dengan matahari, kulitku memerah, mengelupas, perih dan terbakar. Pori-pori pun melebar, lalu berdenyut tak henti-henti.

Bakteri itu datang lagi.
Masih dengan nafas pendek berapi-api.
Bersama sapaanmu, yang masih saja berpura-pura lugu.

12.20
3-7 Mei 2012
Saat hujan menyelesaikan tugasnya

Dipublikasi di Uncategorized | 1 Komentar

Di Meridian

Sebuah keranjang usang dalam lemari besi tanpa kunci
Selalu kukirimkan kepadamu dari Meridian
Sepotong apel merah,
Sebotol anggur,
Selimut bulu angsa,
Segumpal awan peneduh,
Setangkup hujan,
Sepasang sapu tangan,
Sekelibat mimpi,
Sebuah kecupan selamat pagi.

Tidak ada yang pernah sampai ke tanganmu.
Begitu menyusuri bumi mendekatimu,
Ide-ide meretak, menolak jadi materi
Hancur, meledak, luluh lantak..
Dalam udara 18 derajat,
Serpihan-serpihan kian menyaru..
Bersembunyi di antara kayu, menjadi dinding-dinding kaku
Lampu dan lilin tiba-tiba membisu.
Rindu itu, ada di atas ubun-ubun kepalamu.
Tanpa kau tahu..

16.10
Cilegon sedang mendung

Dipublikasi di Uncategorized | Meninggalkan komentar

Ah!

senangnya masih diingat kalau saya bercita-cita menjadi pemain saxophone dan tidak bercita-cita masuk ke institusi pengikat

18:18
20 April 2012

*turut berbahagia untukmu, selalu :)*

Dipublikasi di Uncategorized | Meninggalkan komentar

Tergugu

Rasa-rasanya kita pernah bertemu? Mungkin. Seribu tahun yang lalu? Bisa jadi. Waktu itu kamu adalah rindu? Sepertinya begitu. Apakah sekarang sudah menjadi abu? Belum tentu. Apakah rasanya masih pilu? Tidak selalu. Apakah aku benalu? Dari dulu. Maukah ikut ke hulu? Tidak perlu. Bukankah kamu senang berburu? Masa lalu. Lalu, kenapa tersipu? Menipumu.

16.30
Apakah reinkarnasi menghilangkan memori?

Dipublikasi di Uncategorized | Meninggalkan komentar

Ibu dan Institusi

1943 ayah berjanji kepada ibu dalam angka-angka fibonacci
Peri-peri tersipu, pendeta terharu
Ayah memasangkan cincin di jemari ibu
Ia berdiri, menginjak telur, tapi ibu yang membasuh kaki

Dua hari lalu tepat delapan windu
Langit kelabu, ranting-ranting patah seribu
Ibu memasangkan ayah dasi dan kaus kaki
Kala itu, tangan ibu masih biru, ayah kaku membisu

Malam-malam ayah pulang tidak sendiri
Perempuan seksi diapit di lengan kiri
Kamar ibu jadi gelap gelumat
Ayah berubah jadi sapi, perempuan seksi jadi babi
Ibu pura-pura tidak peduli sambil makan di ruang tv

Hari ini ayah menarikku ke kamar mandi
Muka berseri-seri, nafas berlari-lari
Ular ayah menghisap menikmati
Air-air merah menetes sampai kaki
Nyeri..

Ibu diam-diam mengambil belati
Jantung ayah dipungut, ularnya dikuliti
Ayah mati
Ibu mengajakku pergi

Ibu melepaskan cincin di jemari
Dengan tanah merah, kaki-kaki kami dibasuhi
Aku terus diciumi: “mari nak, surga tinggal sejengkal lagi.”

21.05
Chrysoberil Lounge
Hotel Permata Krakatau

Dipublikasi di Uncategorized | 4 Komentar

Langit

Inilah kebiasaanku setiap pagi: mengintipmu dari celah-celah ranting tanpa daun. Mungkin orang mengenalmu hanya sekedar biru, atau abu atau jingga atau hitam. Tapi aku mengingat dan mengenangmu. Selalu.

Pagimu adalah magnet bagi burung-burung bulbul, yang menarik sayap-sayap keluar dari pohon Ek untuk menari, menyanyi, menghilangkan sepi.
Abu-abumu adalah pertanda musim mana yang akan tiba, selain angin-angin dari utara, sang pembawa harum udara.
Sementara itu, dari detik yang sama, daun-daun terjun bebas ke tanah, membangunkan rumput yang diam-diam bergerak dan menghijau.

Melalui cahaya, kamu bilang cinta itu nyata.
Saya percaya. Sebab awan bergumul tanpa henti ketika bayangan hilang dihisap tanah.
Saya percaya. Sebab matahari menjadi saksi atas pola-pola jatuh cinta yang tak sama.
Tuhan lalu mengajakku menjadi penonton dalam panggungmu yang bersinar jingga. Dalam lima episode, entah sudah berapa kali aku menahan tawa, terharu, tersipu, dan selalu saja berakhir cemburu.

“Cinta tidak selalu gelap” ujarmu

Tapi, gelapmu adalah takjubku yang tak habis-habis. Gelapmu adalah perantara semua misteri dalam legenda. Gelapmu adalah ikatan sabit pada bintang-bintang yang tersipu. Gelapmu adalah dialog-dialog yang tak pernah usai:

Tentang butiran hujan yang tak terhingga, tentang meteor yang tak pernah sampai, tentang kemarahan dalam petir yang menyayat nyayat, tentang warna-warnamu yang tak pernah sama.

Tentang aku. Tentang dia.
Tentang semua yang tak mungkin.

Juga tentang kebosanan yang tak akan datang. Sebab wujudmu tak pernah sama.

27-29 Maret 2012. 15.55 PM
Untuk para pecinta langit.

Dipublikasi di Uncategorized | 3 Komentar

.

 

Makhluk rapuh itu tidak hanya melawan pusaran, tapi juga tuhan.

Dan menutup diri dari tanda-tanda alam, yang datang diantara kedua malam

 

Usai bertapa, mandi bunga, berbalut dupa, makhluk tersebut pergi ke antartika.

Dengan tangguh ia berbicara kepada para dewa, bulan pasti akan baik-baik saja.

Kita tidak akan pernah mati dua kali.

 

Dua ribu dua belas. Perjalanan penuh ambisi. Tidak akan ada hujan di atas langit. Matahari pun hangat dan redup. Sementara itu, awan-awan yang bergumul, pasti bisa memberi petunjuk, bahkan sampai ke merkuri.

 

Tapi makhluk itu tidak tahu,

Bulan adalah sekumpulan bola-bola api.

Dan kaki-kaki bintang dapat membelahnya jadi sembilan.

Meski begitu, ia tetap saja tak peduli

 

Kita memang tidak akan pernah mati dua kali.

Menjelang pagi, makhluk itu pulang ke bumi.

Ditemani hujan, tubuhnya menghitam menahan geram,

Sang bulan mati dalam genggaman

Bersama mimpi, lagi dan lagi..

Dipublikasi di Uncategorized | Meninggalkan komentar