Langit

Inilah kebiasaanku setiap pagi: mengintipmu dari celah-celah ranting tanpa daun. Mungkin orang mengenalmu hanya sekedar biru, atau abu atau jingga atau hitam. Tapi aku mengingat dan mengenangmu. Selalu.

Pagimu adalah magnet bagi burung-burung bulbul, yang menarik sayap-sayap keluar dari pohon Ek untuk menari, menyanyi, menghilangkan sepi.
Abu-abumu adalah pertanda musim mana yang akan tiba, selain angin-angin dari utara, sang pembawa harum udara.
Sementara itu, dari detik yang sama, daun-daun terjun bebas ke tanah, membangunkan rumput yang diam-diam bergerak dan menghijau.

Melalui cahaya, kamu bilang cinta itu nyata.
Saya percaya. Sebab awan bergumul tanpa henti ketika bayangan hilang dihisap tanah.
Saya percaya. Sebab matahari menjadi saksi atas pola-pola jatuh cinta yang tak sama.
Tuhan lalu mengajakku menjadi penonton dalam panggungmu yang bersinar jingga. Dalam lima episode, entah sudah berapa kali aku menahan tawa, terharu, tersipu, dan selalu saja berakhir cemburu.

“Cinta tidak selalu gelap” ujarmu

Tapi, gelapmu adalah takjubku yang tak habis-habis. Gelapmu adalah perantara semua misteri dalam legenda. Gelapmu adalah ikatan sabit pada bintang-bintang yang tersipu. Gelapmu adalah dialog-dialog yang tak pernah usai:

Tentang butiran hujan yang tak terhingga, tentang meteor yang tak pernah sampai, tentang kemarahan dalam petir yang menyayat nyayat, tentang warna-warnamu yang tak pernah sama.

Tentang aku. Tentang dia.
Tentang semua yang tak mungkin.

Juga tentang kebosanan yang tak akan datang. Sebab wujudmu tak pernah sama.

27-29 Maret 2012. 15.55 PM
Untuk para pecinta langit.

Pos ini dipublikasikan di Uncategorized. Tandai permalink.

3 Balasan ke Langit

  1. “Tentang semua yang tak mungkin.” ngga ada yang ngga mungkin neng.. BUAHAHAHAHA

  2. Termasuk kemungkinan lo mati dimutilasi di Papua?

  3. sori nyet, replyan lo selanjutnya gue delete, kalo kata teh ninih, gak lulus sensor! hahahaha

Tinggalkan komentar