E-sperer

Bakteri itu hidup tanpa rencana dalam tubuhku. Ia berkembang biak dan membelah diri di setiap pori-pori. Di selaput mata, di antara lubang hidung, di kulit bibir, di tenggorokan, di sekeliling jantung dan paru-paru. Kata sang Pandir, makhluk itu lahir dari butir-butir impian yang tidak pernah diterima Tuhan.

Bentuknya lucu, seperti hati yang tak seimbang. Layaknya lem, ia melekat sempurna bersembunyi menyerupai kulit. Warnanya kuning, bercahaya. Seperti kunang-kunang, si bakteri berkedip-kedip tiap malam. Ia masuk ke otak melalui rambut menembus kulit-kulit kepala. Misinya mengatur mimpiku mulai tengah malam. Mimpi-mimpi manis yang mampu membuatku merasakan dua emosi sekaligus, bahagia dan menyesal. Mimpi-mimpi pengganggu tidur.

Dengan senyumnya yang memikat, ia mengikat tubuhku dengan kuat. Setiap kakiku melangkah, atau tanganku mencoba bergerak, selalu ia yang memberi komando. Setiap akhir bulan, makhluk tersebut bertambah panjang dan lebarnya satu mikron. Akibatnya pori-poriku melebar, debu-debu masuk ke tubuhku tanpa saringan. Tidak ada yang dapat mencegah perkembangannya, meski adakalanya ia mengkerut dan keriput setiap Sabtu.

Bakteri itu tidak pernah tidur. Ia bergerak siang dan malam: menggigiti kulit, mengiris nadi, menghisap darahku. Ia menusuk paru-paru dengan tangannya yang mirip paku. Tanpa sadar, energiku menipis nyaris habis. Tubuhku lemas menahan infeksi. Bakteri itu berhasil menakut-nakutiku. Bakteri itu menyakitiku.

Kata sang pandir lagi, berlari adalah cara terbaik untuk melepaskan semua yang menempel di tubuh. Aku pun berlari dan berlari, tanpa alas kaki. Berlari kesana kemari. Berlari tanpa arah. Berlari dari bumi. Berlari menghilangkan dungu.

Sore di penghujung tahun itu, dalam ruang bersuhu 8 derajat, si bakteri akhirnya menyerah melepaskan diri. Ia pergi tidak sendiri. Ia membawa semua kulit ari.

Bulan-bulan memang mudah sekali berganti, tapi anehnya kulit ari tidak tumbuh lagi. Setengah memaksakan diri, aku keluar pintu sebab rindu bertemu matahari. Prediksiku benar, manusia tanpa kulit ari hanyalah makhluk lemah tanpa tameng dan senjata. Hanya 10 menit berdialog dengan matahari, kulitku memerah, mengelupas, perih dan terbakar. Pori-pori pun melebar, lalu berdenyut tak henti-henti.

Bakteri itu datang lagi.
Masih dengan nafas pendek berapi-api.
Bersama sapaanmu, yang masih saja berpura-pura lugu.

12.20
3-7 Mei 2012
Saat hujan menyelesaikan tugasnya

Pos ini dipublikasikan di Uncategorized. Tandai permalink.

Satu Balasan ke E-sperer

  1. sudah hampir mati berkata:

    bakteri nya nyaman disitu…

Tinggalkan komentar