Pelayaran

Pelayaran itu dimulai ketika subuh, di laut hitam, kala kita pergi diam-diam.
Dalam langit pekat, semua makhluk tertidur, ombak mendengkur tanda pulas sementara angin pelan-pelan kehabisan nafas.

Hades yang baik hati telah meminjamkan perahu diiringi tangisan Kharon yang dibebastugaskan untuk sementara waktu

Sebagai tawanan, kedua kakiku diikat dengan rantai besi yang disangkutkan pada tiang perahu berkarat. Kunci rantai diberikan. “kamu bisa melepaskan diri, kapanpun kamu mau.” ujarmu tersenyum.

Tanpa ketahuan, kunci kubuang ke dasar lautan.

Perjalanan kita adalah perjalanan bertujuan. Sebagai pengabdi Poseidon, tugas terberatmu adalah memberikan perempuan sebagai pesugihan kepada dewa penguasa lautan yang akan mencabikku sampai ekstase.
Pilihanmu jatuh padaku.

Kamu sibuk menyiapkan segala sesajen untuk bahan persembahan. Di tengah perahu, telah ditancapkan dua kayu besar menyilang. Disekelilingnya, minyak-minyak dalam dirigen berdiri tegak siap bersetubuh dengan api yang akan membakar kulit secepat kilat. Sebuah guci hitam pemberian Hades telah dibersihkan dan siap menampung hasil kremasi dari tubuhku yang sebentar lagi menjadi abu.

Aku bertanya kepadamu yang tengah menyirami lingkaran tempat pembakaran.
“Sebenarnya, cinta mana yang lebih besar?”
Apakah cintamu pada Poseidon sehingga harus bersusah payah membunuh perempuan demi sebuah tanda kesetiaan?
Apakah cintaku padamu sehingga rela dibakar dikorbankan?
Apakah cinta Poseidon kepada kita berdua sehingga ia tak rela melihat kita menyakiti satu sama lain?
Atau cintamu padaku? Tunggu, apakah kamu cinta?

Tatapanmu memerah. Sekujur tubuhmu bergetar namun bibirmu tetap beku. Aku mencoba meraba-raba apa yang ada di pikiranmu. Nihil. Masih saja misteri. Rahasia yang tidak berguna.

Dari awan tenang, hujan dan angin kencang tiba-tiba datang
Cupid tanpa sayap hadir membawa sepucuk pesan.
“Sudahlah sayang, Hera dan Athena telah lama menantimu di Olimpus”

Cilegon, 25 Oktober 2011
*Mencoba untuk terus berdialog dengan Hera

Dipublikasi di Uncategorized | 8 Komentar

Insomnia


Di antara gelap yang kalap,
hitam yang pekat,
Malam yang pengap,
Dan sepi yang tergagap-gagap..

Melayang…

Tanpa nafas, terbang menjadi tak seimbang..
Mengambang..
Mengawang-ngawang..
Sempoyongan..

Ratusan bintang hadir dalam satu kedip
cahaya besar muncul menghentak dalam vertigo
Kadang tersengat tanpa listrik,
Kadang kaku tanpa harus mati suri

Bimbang berarti berada di ambang..
Terikat ditengah-tengah nyata tak nyata,
Sadar tak sadar,
Ada dan tiada..
Sementara itu, semu terus datang menjamu

Ini jelas bukan yin dan yang
bukan juga euphoria yang berkepanjangan
Meski tak ada rasa sakit..
Hanya pahit yang menjerit-jerit..

Raga datang hilang,
Jiwa melanglang tak mau diam
Mulut bungkam dibalut ilalang,
Tubuh terjaga di dalam kelam

Orgasme kosong akhirnya jadi sensasi..
Tidak bergerak, setia dalam imajinasi
Semua tidak mau pergi..
Sampai 20 kali pagi…

Cilegon, 25 Oktober 2011
Hasil dari mendengarkan ERK berjuta-juta kali
Semoga semua orang terbebas dari insomia

Dipublikasi di Uncategorized | 2 Komentar

Mulai sekarang…

Mari kita anggap semua ini komedi
aaah, lucu sekaliii !

ps: tidak semua orang harus mengkonsumsi xanax ketika depresi, mereka hanya perlu melakukan represi (represi terus ampe mati! hihi)

Dipublikasi di Uncategorized | 3 Komentar

Sang Fotografer

Dulu, saya kagum sama fotografer. Jatuh cinta? Mungkin. Entahlah, saya tidak begitu suka dengan pendefinisian konsep abstrak. Karakter mereka sangat kuat. Kalau bertemu fotografer sejati, radar saya dapat menangkap dengan cepat. Mudah rasanya mengobservasi setiap gerakan tubuhnya. Caranya melihat, mengamati dan mengendus objek seperti anjing pelacak yang sedang mencari ekstasi.
Fotografer melukis dunia dengan cahaya. Dari sekian banyak makhluk hidup di dunia, mereka termasuk ke dalam golongan yang sangat peka. Dari semua objek indah yang pernah ada, mereka selalu berhasil mendapatkan yang paling indah. Kelihaian mereka merepresentasikan dunia dapat membangkitkan emosi saya dengan cepat. Saya bisa menangis sesegukan atau tertawa terbahak-bahak hanya dengan melihat satu hasil gambarnya.

Bulan lalu, saya mendapat kesempatan menjadi model fotografer terkemuka dari ujung Jawa. Bukan tawaran basa basi, saya pun mengangguk dengan pasti. Materi, ekspresi sampai birahi saya siapkan dengan sempurna. Tujuannya, apalagi kalau bukan unjuk gigi?
Saat sesi pemotretan terjadi, tiba-tiba ada perempuan lain yang menjadi model sang fotografer lelaki. Bentuknya? 180 derajat beda sama saya. Cemburu? Bisa jadi. Lah wong saya pikir cuma saya yang berapi-api.
Pemotretan selesai, proses editing pun dimulai. Ternyata, dua objek dalam satu kali tangkapan tidaklah indah. Harus ada yang dibuang, dicrop bahasa kerennya. Dan dicroplah muka saya, tubuh saya, jiwa saya. Hasil fotonya diikutsertakan dalam lomba. Sang fotografer jadi juara.

Semenjak itu, saya benci sama fotografer.

Dipublikasi di Uncategorized | 11 Komentar

Anamnesis

Belum selesai saya membersihkan puing-puing sisa reruntuhan keraton bekas singgasana dulu, gempa mengguncang. Anak krakatau meletus, hujan abu panas seketika turun. Firasat saya, gelombang tsunami akan menghajar dari selatan. Tidak ada jalan selamat, hanya sebuah tulisan selamat jalan di hadapan. Semesta sepertinya tidak lagi menginginkan saya di sini.

Cilegon, 6 Oktober 2011
13.46
G30HM
*terima kasih kepada sang terapis dan tante susi atas inspirasi judul dan konten cerita.
PS: tante yang baik, jangan tanya apa-apa lagi ke saya yaaa!

Dipublikasi di Uncategorized | 5 Komentar

Alakazam

Gadis kecil berlari menghampiri pesulap yang baru saja menyelesaikan atraksi di panggung dekat komedi putar. Diberikannya pesulap itu boneka hasil curian dari gadis sebaya di taman kota yg tempo hari tertidur dalam lengah.

“Saya mau dia hilang!” kata sang gadis kepada pesulap.
Pesulap tersenyum. Dengan seksama diperhatikannya raut muka sang gadis dan boneka bergantian. Belum sempat pesulap bertanya, sang gadis kembali berbicara, “Kata ayah, tidak boleh mengambil sesuatu yang bukan milik kita”

Pesulap mengangguk, membenarkan perkataan sang gadis. Ia mengambil tongkat sakti dan diacungkan ke udara. “Baiklah, sekarang, ucapkan selamat tinggal kepada bonekamu.”

Sang gadis membuka mulutnya perlahan. Suaranya tiba-tiba hilang. Lidah kelu menahan pilu. Raut wajahnya mulai kelabu. Ia merengek sambil menahan malu.

Sang gadis tak mampu bicara, padahal cuma dua kata. Putus asa. Direbutnya kembali boneka itu dari tangan sang pesulap. Boneka disisipi di balik jaket baju, lalu beranjak pergi.

Pesulap memandangi gadis yang pergi dengan kasihan. “Gadis yang malang. Dia tidak tahu kalau jaketnya bolong. Sebentar lagi, boneka yang disembunyikan pasti kelihatan. Dan gadis lengah yang tertidur di taman, pasti akan mengambilnya kembali ke dalam pelukan.”

Dipublikasi di Uncategorized | 2 Komentar

Pendoa dan Pendosa

Lima bulan sudah mereka berjalan di dalam lorong panjang pengepung tornado yang sesekali membentuk oase. Cahaya di ujung lorong mulai kelihatan, tanda perjalanan lorong akan segera usai. Gelap perlahan habis dimakan matahari yang menyelip di sela-sela lubang. Molekul-molekul udara semakin ramai bergetar membuat senyap panjang tiba-tiba lenyap.

Merekapun tiba di penghujung lorong.

“Jalan kita berbeda”, ujar pendoa kepada pendosa.
Pendosa terbelalak kaget, tidak percaya. Dalam keheningan, ia mulai bertanya-tanya. Bagaimana mungkin beda? Bukankah dari awal sudah menyamakan langkah? Kaki kanan jalan duluan, kaki kiri kemudian. Kaki kanan melangkah ke depan. Kaki kiri mengikuti. Kanan, kiri, kanan, kiri, seterusnya demikian. Lebar langkahnya pun sama. Ketukannya sama. Indah berirama. Lalu apa yang berbeda?

Pendosa tidak terima. “Apa yang membuat jalan kita berbeda? Apa karena kamu selalu berdoa sementara saya menyembah berhala?
Apakah karena kamu bersayap kanan sementara saya bersayap kiri?
Bukankah kalau kedua sayap disatukan kita akan bisa terbang dengan sempurna?
Apakah karena hati kita sama-sama terbuat dari baja?
Apakah karena bahasa? budaya?
Atau memang rasa yang tak lagi sama?

Pendoa meninggalkan pendosa tanpa jawaban. Di luar lorong, bidadari yang telah lama menunggu, menjemputnya dengan airmata.

Pendosa menutup mata, membalikkan badan, masuk kembali ke dalam lorong. Dengan sisa tenaga, dihapusnya jejak-jejak bekas pendoa. Semuanya sia-sia.

Cilegon, 4 Oktober 2011
15.26 WIB
G30HM

Dipublikasi di Uncategorized | 4 Komentar

Puri Syakuntala

Namanya Syakuntala..
Dan saya mencintainya lebih dari apapun di dunia…

Tak ada yang perlu kamu takutkan Syakun, ibu sedang membangun puri terindah untukmu hidup, tumbuh dan menetap. Tak perlu merasa khawatir Syakun, puri yang sedang ibu buatkan untukmu adalah puri abadi. Puri yang tak akan pernah sepi dan tak akan pernah muncul elegi.

Di dalam puri nanti, akan ada tiga peri yang menemani. Peri kuning akan mengajarkanmu kebaikan, peri hijau akan mengajarkanmu bagaimana cara merelakan dan peri putih akan mengajarkanmu cara menghilangkan dendam.

Purimu akan kubuat sempurna. Kepingan seluruh rasaku akan menghablur menjadi kaca mozaik dan membentuk dinding kokoh tak tergoyahkan. Setiap tetes air mataku akan menguap menjadi awan yang akan menyejukkan setiap langkah hidupmu. Setiap tetes darah yang pernah keluar dari tubuhku akan menjadi bunga-bunga mawar beku yang menghiasi seluruh taman di halaman puri. Seluruh jiwaku, ragaku, nafasku akan menjadi pengawal yang selalu menjagamu. Memelukmu erat di waktu malam, membangunkan semangatmu di kala pagi menjelang dan membebaskanmu dengan segala pilihan yang ada di saat siang benderang.

Sembilan pintu puri akan selalu terbuka ketika kamu datang dan pergi mencari arti. Sembilan pasang jendela akan menjadi saluran udara untukmu menghirup dan menghembuskan kebahagiaan kepada sekitar. Tungku perapian akan secara otomatis bekerja sepersekian detik setelah kamu membakar segala memori yang tidak perlu. Cerobong asap akan membuang amarahmu dan menghilangkan asapnya di langit malam bersamaan dengan perginya sang gagak pembawa kesialan.

Pintu, jendela dan cerobong asap, semua akan tertutup rapat dan menguncimu dari sihir dan kejahatan yang mungkin datang kapan saja dan entah tujuannya apa. Pintu, jendela dan cerobong asap juga akan tertutup rapat dari mereka, makhluk-makhluk meragu yang siap mengubah pikiranmu menjadi abu-abu.

Ada satu syarat yang harus kamu patuhi sebelum kamu tinggal di dalam puri : Tak perlu lagi menangisi ayahmu yang pergi. Tak perlu lagi mengingat-ingat kronologi ayah yang tiba-tiba amnesia, tak ingat siapa-siapa, tak ingat tentang kita. Tak perlu lagi kamu sesali bagaimana ia menjadikan kita ampas dengan segera. Di purimu nanti, semua makhluk yang kudatangkan dari tujuh langit akan mencintaimu secara utuh. Mereka akan mempertaruhkan nyawanya hanya untukmu, mencintaimu secara penuh. Bukan seperti ayah yang jiwa dan cintanya selalu terbagi.

Di tengah dua pasang pohon kamboja. Puluhan pasang mata dengan tubuh berbalut warna hitam mengalirkan hujan bercucuran tanpa henti. Beberapa dayang sibuk menebarkan bunga ke atas tanah lembab yang baru selesai digali. Ada dua senyum dari dalam peti kayu jati. Saya berbisik pada Syakun yang tengah tidur melingkar di dalam perut, “Ayo nak, kita ke puri. Mari ucapkan selamat tinggal kepada ayahmu yang berpikir kita sudah mati.”

Cilegon, 3 Oktober 2011
-Cerbung untuk G30HM akhirnya selesai di hari ketiga :)-

Dipublikasi di Uncategorized | 2 Komentar

kosong

Kalau satu adalah aku dan kamu, maka aku tidak akan membuatnya menjadi nol melainkan tiada

Dipublikasi di Uncategorized | Meninggalkan komentar

Keputusan

Setelah kamu mendorong saya dari ketinggian 50 meter dan membuang ke tumpukan sampah busuk tanpa perasaan, ada banyak hal yang bisa saya lakukan sebagai seorang pendendam:

1. Menusukmu menggunakan voodoo atau menjampi-jampimu supaya kamu kembali
2. Memutilasimu pelan-pelan tanpa belas kasihan, supaya kamu tau rasanya mati perlahan
3. Merakit bom berkekuatan besar dan meledakkan tepat di di atas kepalamu saat akhir tahun
4. Mengirimkan pesan, mengungkapkan kebenaran tanpa sensor dan membuat rencana -yang kamu pikir-sucimu berantakan
5. Memintamu menemani seumur hidup (jika tahan), sebagai bentuk tanggung jawab yang dipaksakan
6. Melepasmu. Tanpa syarat. Tanpa dendam. Tanpa Kebencian.

Sebagai seorang pendendam, kira-kira mana pilihan yang akan saya lakukan?

Saya pilih no 6 dan mendoakan. Semoga kamu senang dan tidak mengulang. Semoga ikhlas-yang saya tidak pernah tau bagaimana caranya- segera memeluk dari belakang.

*mencoba menjadi dalai oya.
Serpong,
8 September 2011
00.58 WIB

Dipublikasi di Uncategorized | Meninggalkan komentar